Sumber foto:Google
Opini Oleh : Amelia Rizky Wardani
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 adalah hasil dari pengesahan yang dilakukan oleh DPR dari peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang juga merupakan salah satu produk hukum yang juga diakui dalam tata hukum dan hierarki peraturan perundang-undangan. Keberadaannya sejajar dengan undang-undang. Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut mengatakan, jenis dan hierarki perundang-undangan terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai tatanan tertinggi, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai tata urutan yang kedua, undang-undang/Perppu yang berada setelah ketetapan Mejelis Permusyawaratan Rakyat, serta beberapa peraturan perundang-undangan lain di bawahnya.
Mahkamah Konstitusi yang dikenal sebagai penafsir konstitusi (thesole interpreter of constitution), telah memberikan tafsiran sekaligus pembatasan mengenai kualifikasi kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945. Berdasarkan Putusan MK Nomor : 138/PUU-VII/2009 ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPPU yaitu :
1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai.
3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Adanya batasan dari Mahkamah Konstitusi tersebut harus diakui tidak dapat membatasi subjektifitas presiden untuk mengeluarkan Perppu. Hal inilah kiranya yang mendasari dikeluarkannya Perppu, yang hampir setiap presiden pasca reformasi telah mengeluarkan produk hukum tersebut. Pada tanggal 10 Juli 2017 pemerintah telah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Sebagaimana diketahui, dasar yuridis tentang organisasi kemasyarakatan di Indonesia sebelumnya adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pemerintah menilai, undang-undang ini telah tidak mampu mewadahi problematika organisasi kemasyarakatan yang sedang berkembang saat ini. Secara lebih spesifik, pemerintah menilai, penindakan melalui undang-undang tersebut terhadap organisasi kemasyarakatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi tidak lagi efektif. Tidak efektiktifnya sanksi berdasarkan undang-undang tersebut, yaitu yang berkaitan dengan asas hukum administrasi yang berkaitan dengan asas contrarius actus, yaitu sebuah asas yang mengatakan bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau memberikan suatu pengesahan terhadap organisasi kemasyarakatan adalah yang berwenang untuk membatalkannya.
Arah politik hukum pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2017 dikarenakan adanya :
1. Adanya Kegentingan yang Memaksa.
Kegentingan” berasal dari kata dasar “genting.” Menurut KBBI, genting ialah tegang dan berbahaya tentang keadaan yang mungkin segera menimbulkan bencana perang dan sebagainya. Sedangkan kegentingan berarti keadaan yang genting, krisis dan kemelut. Sementara itu, kata memaksa mempunyai kata dasar “paksa”, yang mempunyai arti mengerjakan sesuatu yang diharuskan walaupun tidak mau. Sedangkan kata “memaksa” mempunyai suatu arti memperlakukan, menyuruh dan meminta dengan paksa.
Sehingga dalam konteks penetapan Perppu, memaknai dimensi kegentingan yang memaksa ialah menilai bagaimana ukuran pembeda dan batasan dari dimensi kegentingan yang memaksa. Sehingga ukuran pembeda dan batasan itu dapat dimaknai dengan terpenuhinya unsur-unsur kegentingan yang memaksa berdasarkan ukuran tertentu yaitu keputusan dari Mahkamah Konstitusi yang telah mengatur tentang standarlisasi kegentingan yang memaksa yang antara lain sebagai berikut:
a. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
b. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai.
c. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.
2. Adanya Ormas yang Ingin mengganti Ideologi Negara.
Isu adanya ormas yang ingin mengganti ideologi pancasila dengan sistem ideologi khilafah merupakan alasan paling kuat pemerintah menetapkan Undang-Undang Ormas adalah adanya isu radikalisme dari Organisasi islam yang ingin mengganti ideologi negara dengan sistem khilafah. Banyak ormas yang menganggap pemerintah dinilai kurang paham mengenai arti khilafah yang sebenarnya sehingga menganggap hal tersebut adalah hal yang radikal atau bersebrangan dengan ideologi pancasila. Khilafah dalam perspektif Islam mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai seorang pemimpin di muka bumi di satu sisi yang harus merealisasikan tugas sucinya (pembawa rahmat bagi alam semesta), dan sebagai hamba Allah di sisi lain (yang harus patuh dan tunduk serta senantiasa terpanggil untuk mengabdikan dirinya di jalan Allah). Masalah khilafah adalah masalah yang berhubungan dengan sosial, dimana didalamnya terjadi interaksi timbal balik (antara yang memimpin dan yang dipimpin) untuk mencapai tujuan yang sama.
Legal policy dalam Penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 merupakan hak prerogratif Presiden, dan oleh karenanya secara normatif dipandang sah (legal), namun pandangan subjektif ini harus bisa diukur dengan ukuran objektif sebagaimana putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Perppu ini telah menjadi payung hukum bagi pemerintah dalam upaya untuk mengatur. mengontrol menjamin, memberdayakan, dan membina ormas di Indonesia. Perppu Ormas menunjukkan eksistensi dan berlakunya azas contrario actus, dimana lembaga yang memberikan izin dan mengesahkan ormas yakni Kementrian Hukum dan HAM RI telah menggunakan hak dan kewenangannya dengan mencabut izin itu pada saat ormas yang bersangkutan dinilai melanggar ketentuan yang berlaku pada saat diberikan izin.
Struggle of power terbitnya Perppu Ormas tergambar bahwa sesungguhnya, “perang agenda politik”, bahkan “perang ideologi” sedang berlangsung, antara kepentingan politik penguasa, dan kepentingan politik di luar kekuasaan. Produk hukum tidak pernah netral, melainkan ada kepentingan yang saling tarik menarik dan mendominasi. Pertimbangan khusus adanya Perppu Ormas dengan menyebut adanya organisasi tertentu yang bersifat bertentangan dengan Pancasila dan NKRI, menunjukkan sejak awal sudah ada sasaran khusus keberadaan Perppu tersebut.
إرسال تعليق