ANALISIS POLITIK HUKUM ATAS PEMINDAHAN IKN BERDASARKAN UU NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IKN

sumber foto: Google 

Opini Oleh: Muhammad Akbar Yani

Adanya UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN sendiri merupakan bentuk kepastian hukum mengenai pemindahan Ibu Kota. Kepastian wilayah IKN di Indonesia tidak disebutkan secara pasti dan tegas dalam konstitusi melainkan dalam UU sebagai payung Hukum yang mengaturnya.

Permasalahannya yakni dalam pembentukan UU ini beberapa substansi yang terdapat dalam UU IKN dinilai menyalahi konstitusi khususnya pada pasal 18, 18A ayat (1) dan 18B ayat (1) terkait dengan pemerintahan daerah serta minimnya akomodasi kepentingan masyarakat seperti pembentukan Otorita IKN serta UU ini dinilai tidak mengakomodasi kepentingan masayrakat hal tersebut dikarenakan secara kepastian hukum hak masyarakat adat belum dibentuk, yang mana sudah semestinya pembentukan UU IKN harus mengakomodasi secara khusus hak-hak masyarakat termasuk masyarakat adat secara komprehensif.

Kebijakan pemindahan IKN berdasarkan pada UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN jika ditinjau secara normatif-yuridis UU IKN ini memiliki beberapa kekurangan baik dalam substansinya maupun dalam relevansinya terhadap konstitusi atau UU Dasar 1945. Substansi pengaturan yang tertulis dalam UU tersebut lebih banyak digambarkan secara abstrak atau hanya secara umum tanpa mengkaji lebih mendalam mengenai persoalan yang konkret sehingga dapat berpotensi menimbulkan permasalahan baru dikemudian hari yang dapat merugikan masayrakat sebagai contoh yakni terdapat pada Pasal 9 terkait Otorita Ibu Kota Nusantara serta abstraknya substansi dalam kepentingan dan partisipasi masyarakat dalam pasal 21 dan Pasal 37 UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN.

Substansi pembentukan Otorita Ibu Kota Nusantara dalam UU Nomor 3 Tahun 2022 yang dinilai bertentangan dengan konstitusi yakni adanya terkait dengan pembentukan pemerintahan yang terdapat pada IKN yang mana pemerintahannya dikhususkan dengan pelaksana pemerintahan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara yang mana jabatan tersebut setingkat dengan mentri dan diangkat serta diberhentikan oleh presiden.

Otorita IKN merupakan suatu organisasi yang mana kepemimpinannya merupakan delegasi dari pemerintah pusat dan bukan oleh masyarakat. Namun yang menjadi permasalahannya yakni pembentukan Otorita Ibu Kota Nusantara ini sebagai pemerintah IKN dinilai menyalahi konstitusi khususnya pada pasal 18, 18A ayat (1) dan 18B ayat (1) terkait dengan pemerintahan daerah. Adanya utusan pemerintah pusat tersebut terkesan bahwasanya pemerintah pusat ingin menjadikan pemimpin daerah IKN sebagai bawahannya secara langsung dan jika diasumsikan secara sosiologis maka pemerintah dapat mengankat atau memberhenikan seorang kepala daerah yang merupaka delegasinya berdasarkan suka tidak suka.

Sejatinya, terkait dengan mengistimewakan suatu daerah dapat dilakukan selagi relevan dan sejalan dan terpenting tidak bertentangan dengan konstitusi yang ada. Hal tersebut tertuang secara implisit dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VI/2008. Sehubungan dengan otonomi daerah, dapat diketahui bahawasanya otonomi daerah berarti memberikan hak dan kesempatan kepada daerah untuk untuk mengatur daerah masing-masing.

Dari hal tersebut, penulis berpandangan bahwasanya, dalam pembentukan Otorita Ibu Kota Nusantara ini cenderung memperlemah prinsip otonomi daerah. Hal tersebut juga sejalan dengan pembentukan Otorita Ibu Kota Nusantara yang merupakan delegasi dari pemerintah pusat yang dapat di angkat maupun diberhentikan oleh pemerintah pusat. 

Pada pasal 27 UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN yang mana dalam UU tersebut pada intinya mengatur hak-hak masyarakat mengenai penataan ruang, pengalihan hak atas tanah, dan lingkungan hidup. Adanya pasal tersebut memang sangat lah penting gua melindungi hak individu masayrakat adat. Karena secara kepastian hukum hak masyarakat adat belum dibentuk, sudah semestinya pembentukan UU IKN harus mengakomodasi secara khusus hak-hak masyarakat adat secara komprehensif.

Kemudian pada pasal Pasal 37 UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN mengatur partisipasi masyarakat terkait proses persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengelolaan IKN yang hanya dijelaskan secara abstrak sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut melaui perUU agar menjadi suatu kepastian hukum. Satu aspek mendasar yang juga luput tidak diatur UU IKN adalah mekanisme persetujuan masyarakat adat (indigenous peoples consent) terhadap semua program kebijakan yang berkaitan dengan pemindahan IKN.

Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa kualitas kebijakan pemindahan IKN sangat buruk, tidak prosedural, tidak terencana, tergesa-gesa, hingga cenderung dianggap mengabaikan aspirasi masyarakat. Sikap tergesa-gesa itu setidaknya dapat diamati dari pembentukan UU IKN yang dapat dikatakan super kilat.

Logikanya, pemindahan IKN yang merupakan megaproyek tentunya akan berkenaan dengan banyak sektor yang terdampak, di antaranya lingkungan hidup, sosial budaya, ekonomi, politik kebijakan publik, hukum pemerintahan daerah, perencanaan tata kota dan wilayah, hingga aspek kepentingan hukum masyarakat setempat terdampak yang harusnya dilindungi serta memperhatikan permasalahan bangsa dan negara, termasuk pada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Pemindahan Ibu Kota Baru ini dapat dibenarkan dan pengkhususan atau pengistimewaan suatu daerah juga dapat dibenarkan karena memiliki landasan. Terlebih konstitusi tidak mengatur wilayah IKN di Indonesia. Hanya saja politik hukum yang saat ini masih belum dapat mengakomodasi seluruhnya terkait pemindahan IKN termasuk dalam hal partisipasi dan pendukungan terhadap hak masayrakat adat. Serta adanya Otorita IKN menjadi suatu hal yang dapat diperdebatkan terkait relevansinya terhadap konstitusi dan prinsip otonomi daerah.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama